Hidup ini memang membingungkan, tak terprediksi, dan kadang tidak sejalan dengan yang kita inginkan.
Again, gue mau ngebahas tentang kuliah alias masa depan anak SMA yang mau lulus bentar lagi.
Gue tahu sudah cukup terlambat kalau gue mau kuliah di tempat yang aneh-aneh.
Waktu gue SD dan SMP, gue ini didorong untuk sekolah di sekolah internasional. Dulu, gue ini belum jago bahasa Inggris (sekarang juga gak jago juga sih... hanya sok jago) sehingga tentu saja kalau gue mau sekolah internasional, gue bakal terintimidasi dengan bahasa yang digunakan selama sekolah. Alhasil, gue yah menentang dong. Gue mau jadi apa kalau sekolah di sekolah dengan pengantar bahasa Inggris sementara gue di rumah ngomongnya bahasa Jawa.
Setelah menginjak SMA, dan mungkin karena kebanyakkan melakukan riset novel dengan bahasa Inggris, kemampuan bahasa Inggris gue jadi lebih baik. Pertama, guru gue meluruskan grammar gue yang selama ini kacau balau, seenak jidat mau gue yang penting bisa ngomong dan enak didenger.
Kedua, gue ini pemalu dan bahkan jarang ngomong dengan bahasa yang gue fasih sendiri. Gimana dengan bahasa asing yang jarang gue ucapkan? Sekarang, untungnya lebih mendingan dikit.
Ketiga, gak gampang ngomong Inggris secara spontan, dan gue udah lumayan bisa spontan walau agak blepotan.
Nah, lucu kan bagaimana pandangan gue dulu yang maunya kuliah di Indonesia aja deh, dalam hitungan tahun gue berubah pikiran?
Yeah, impian gue adalah kuliah di luar negeri. Alasannya adalah selain memang pendidikan di luar negeri (negara maju) itu lebih bagus daripada Indonesia, gue juga ingin menambah pengalaman. Gue pengen ngerasain hidup mandiri mengingat gue ini cenderung manja. Gue juga pengen apa yah mengubah hidup gue yang datar ini menjadi lebih menantang sedikit.
Tujuannya kemana? Yah awalnya muluk-muluk sih mau di London, University College London atau di Oxbridge (Oxford atau Cambridge) yang kalau ditinjau kembali dengan realita kehidupan, itu tidak mungkin terjadi. Biaya hidupnya mahalnya kalau diibaratkan beli mobil, udah dapet kali yah mobil sport... hhmm. Disamping itu, gue harus realistis juga kalau gue tidak les bahasa Inggris, gue semata-mata belajar di sekolah dan self-learning di rumah dari nonton film no subtitle, baca buku Inggris... mampukah gue mengejar IELTS 7,5? Kan sayang banget kalau harus belajar bahasa lagi sehingga memperlambat kelulusan....
Selanjutnya, impian gue sekarang jauh lebih realistis. Gue sendiri bahkan sudah survey tempatnya yang keren bangettt. Yakni National University of Singaproe (NUS), ini yah UI-nya orang Singapore. Dan NUS sendiri di mata dunia itu termasuk salah satu top university around the world. Kebayang kan gimana pasti kerennya kuliah di sana?
IELTS nya lebih manusiawi 6,5. Dari segi biaya, masih masuk akal untuk ukuran kuliah di luar negeri. Biaya hidup? Yah harus dihemat-hematin. Total kuliahnya kalo diitung-itung sama dengan kuliah swasta elite di Indonesia.
Kurang menggiurkan apalagi? Okelah kalau UK agak kejauhan dari Indonesia, tapi ini Singapore... negara kedua orang Indonesia :')
Beberapa bulan belakangan, pikiran dan hati gue ini seperti bertengkar. Apa sebetulnya tujuan hidup gue? Kenapa gue udah punya cukup keinginan untuk mencari pengalaman baru, keluar dari zona nyaman gue, tetapi gue tidak punya apa yah... niat dan semangat untuk berjuang mencapai keinginan gue kuliah di luar negeri.
Mari kita bandingkan kehidupan gue bila kuliah di luar negeri vs di Indonesia.
Di luar negeri:
- Kelebihan :
- Mendapat pengalaman baru
- Lebih fasih berbahasa Inggris
- Bisa punya banyak teman baru dari berbagai belahan dunia
- Pola pikir gue jelas akan lebih terbuka
- Belajar kebudayaan baru
- Bisa jadi lebih sering exercise karena di luar kan lebih sering jalan kaki
- Kekurangan :
- Seret jodoh *nah loh*
- Takut homesick *karena gue cinta rumah banget*
- Takut kalau sakit gak ada yang urus dan gak tau harus ngapain...
- Gak bisa masak :')
- Takut terjerumus ke hal negatif
Di Indonesia :
- Kelebihan :
- Tidak perlu khawatir kendala bahasa
- Masih bisa ngumpul ama keluarga dan temen-temen
- Ngerasain hidup normal
- Buku-buku gue ada di sini semua jadi bisa jadi referensi belajar
- Gak puyeng sama urusan rumah tangga
- Kekurangan :
- Hidup ini monoton
- Pengalaman baru cuma sedikit
- Harus bikin skripsi...
- Begini terus jarang olahraga
- Tidak ada yang bisa dibanggakan...
Well, masing-masing punya kelebihan dan kekurangannya sendiri. Itu gak bisa dipungkiri lagi. Gue agak kecewa karena gue pada akhirnya akan masuk di perguruan tinggi swasta di Jakarta Selatan. Mungkin bisa nebak sendiri lah apa. Kalo mau dibandingin fasilitas yah pasti kebanting sama luar negeri. Sebenernya bukan karena gedungnya jelek atau kampusnya secara fisik yang gue lihat.
Tapi, siapa sih yang gak pengen punya kampus keren? Yang nyaman dan enak dibuat nongkrong...
Sekitar dua atau tiga hari lalu gue mendapat pencerahan. Pencerahan yang bener-bener bikin gue somehow, gak sabar pengen cepet kuliah. Gue takut sekali harus mengakhiri masa sekolah gue. 12 tahun gue pakai seragam dan hidup nyaman di kelas, tiba-tiba gue harus keluar dan masuk ke jenjang yang katanya menuntut kemandirian. In the end, you have to count on yourself.
Gue minta sama Tuhan buat kasih gue pencerahan, dan doa gue dijawab. Gue mikir lagi untung-ruginya kalau gue coba-coba di luar negeri atau gue cari aman dan masuk ke kampus yang udah nerima gue ini.
Jawabannya sederhana tetapi sulit diterima. Pengorbanan.
Do you get it?
Gue sadar bahwa gue gak bisa rakus, gabisa tamak pengen mendapatkan semuanya sekaligus. Gue harus mengorbankan hal yang gue mau. Kayak gue punya banyak cita-cita, tapi gue gak bisa kan jadi dokter, suster, agen rahasia, psikolog, dan penulis dalam waktu bersamaan?
Gue harus memilih mana yang benar-benar gue minati, mana yang merupakan panggilan hidup gue, dan mana yang paling sesuasi dengan kondisi gue di masa sekarang.
Sekarang gue anak IPS, gak suka fisika, bodoh di kimia, ngafalin yang abstrak kayak biologi juga susah, takut sama mayat, gak tahan ngeliat orang sakit kulit, yah gimana mau jadi dokter atau suster?
Gue akhirnya mencapai di keputusan bahwa. Gue menyerah untuk menggapai impian kuliah di luar negeri. Setelah sedih banget rasanya kan gak bisa dapet kehidupan baru, mungkin pengetahuan baru, pokoknya hilang sudah bayangan gue bisa mandiri, berani ngomong Inggris, dan menjadi dewasa.
Semua bayangan itu sirna, tetapi digantikan juga dengan bayangan lainnya.
Gue pikir lagi kuliah di luar negeri (dengan tujuan gue di Singapore) kalau mau biaya kuliahnya murah, gue harus kontrak buat kerja di sana dua tahun. Singapore terkenal dengan negara yang katanya orang addict kerja banget. Workaholic. Dan tentu ada rasa takut kan gue gak betah, tapi gak bisa pulang juga. Pikir-pikir cewek mau sekolah tinggi ujung-ujungnya apa? Well, kalau beruntung dapet cowok yang mapan.
Gue terus bandingin pelajaran (mata kuliah) di calon kampus gue vs NUS. Gue pikir lagi, sekarang ngerti juga kenapa psikologi di luar negeri harus sampe PhD dulu baru bisa dikatakan psikolog beneran. S1 mereka yah cenderung 'dangkal' ditambah kebanyakkan gak ada skripsi.
Gue lihat pelajaran di kampus gue itu lumayan berat yah kalau diliat. Plus ditambah gue dapet dorongan sana-sini, bahkan dari kenalan orang tur bahwa kampus gue ini bagus psikologi-nya. Alhasil, gue semakin galau tetapi yakin bahwa mungkin lebih baik gue tinggal di Jakarta aja.
Psikologi sama halnya seperti dokter, sosiologi, maupun hukum itu ilmu-ilmu yang lebih baik diambil di negara sendiri. Mengapa? Karena masalah-masalah di Indonesia itu berbeda dengan luar negeri. Apalagi negara maju. Penyakit pun juga berbeda. Di luar negeri yang bersih apa bisa orang kena tipes?
Walau psikologi sebenernya emang masih lebih umum, tetapi gue mikir kalau gue kuliah di luar dengan pandangan orang asing, lalu gue kerja di sini... apa ilmu gue itu bisa kepake di Indonesia?
Ditambah kuliah di Indonesia tentunya sudah disesuaikan dengan lingkungan kerja yang ada di Indonesia, kan? Di sini, gue juga bisa magang dan ngerasain kerja di bidang yang gue minati. Sesuatu yang mungkin tidak gue dapatkan bila gue memutuskan kuliah di luar negeri.
Gue lagi mikir aja, ada orang kuliah jauh-jauh di Amerika (dia cewek), dan karena sedihnya dengan ijazah SMA, kita sebetulnya gak bisa langsung kuliah baik di Eropa maupun Amerika. Gue kurang mengerti deh, yang pasti harus ambil lagi tambahan mungkin biar setara dengan kualifikasi mereka.
Tidakkah sebetulnya buang-buang waktu, tenaga, dan biaya?
Yeah pada akhirnya, gue mengambil keputusan bahwa lebih baik di sini. Gue gak perlu pusing mikirin soal makan, rumah, kesepian, dan lain-lain. Fokus gue hanya menimba ilmu. Gue akan bekerja keras untuk menjadi penulis sungguhan bukan sekedar hobi aja.
Meskipun gue harus mengorbankan angan-angan bisa punya kehidupan baru, meski gue menahan rasa iri melihat temen-temen gue yang kuliah di luar, apalagi di Inggris... mereka bisa jalan-jalan keliling Eropa pas liburan... sementara gue harus ketemu lagi sama Jakarta...
Tidak apa.
Gue memutuskan untuk mengorbankan kenangan baru itu demi sebuah pendidikan dan kehidupan yang lebih masuk akal dijalankan.
Love,
Natasha
PS : Merry Christmas and Happy New Year!!! Lots of love!
PPS : Libur tinggal beberapa hari lagi... hhmm...
Tapi, siapa sih yang gak pengen punya kampus keren? Yang nyaman dan enak dibuat nongkrong...
Sekitar dua atau tiga hari lalu gue mendapat pencerahan. Pencerahan yang bener-bener bikin gue somehow, gak sabar pengen cepet kuliah. Gue takut sekali harus mengakhiri masa sekolah gue. 12 tahun gue pakai seragam dan hidup nyaman di kelas, tiba-tiba gue harus keluar dan masuk ke jenjang yang katanya menuntut kemandirian. In the end, you have to count on yourself.
Gue minta sama Tuhan buat kasih gue pencerahan, dan doa gue dijawab. Gue mikir lagi untung-ruginya kalau gue coba-coba di luar negeri atau gue cari aman dan masuk ke kampus yang udah nerima gue ini.
Jawabannya sederhana tetapi sulit diterima. Pengorbanan.
Do you get it?
"Sometimes in life, you have to sacrifice something in order to get the other thing."Dengan memakai prinsip demikian, gue bisa menemukan jalan keluar dari dilema yang gue hadapi.
Gue sadar bahwa gue gak bisa rakus, gabisa tamak pengen mendapatkan semuanya sekaligus. Gue harus mengorbankan hal yang gue mau. Kayak gue punya banyak cita-cita, tapi gue gak bisa kan jadi dokter, suster, agen rahasia, psikolog, dan penulis dalam waktu bersamaan?
Gue harus memilih mana yang benar-benar gue minati, mana yang merupakan panggilan hidup gue, dan mana yang paling sesuasi dengan kondisi gue di masa sekarang.
Sekarang gue anak IPS, gak suka fisika, bodoh di kimia, ngafalin yang abstrak kayak biologi juga susah, takut sama mayat, gak tahan ngeliat orang sakit kulit, yah gimana mau jadi dokter atau suster?
Gue akhirnya mencapai di keputusan bahwa. Gue menyerah untuk menggapai impian kuliah di luar negeri. Setelah sedih banget rasanya kan gak bisa dapet kehidupan baru, mungkin pengetahuan baru, pokoknya hilang sudah bayangan gue bisa mandiri, berani ngomong Inggris, dan menjadi dewasa.
Semua bayangan itu sirna, tetapi digantikan juga dengan bayangan lainnya.
Gue pikir lagi kuliah di luar negeri (dengan tujuan gue di Singapore) kalau mau biaya kuliahnya murah, gue harus kontrak buat kerja di sana dua tahun. Singapore terkenal dengan negara yang katanya orang addict kerja banget. Workaholic. Dan tentu ada rasa takut kan gue gak betah, tapi gak bisa pulang juga. Pikir-pikir cewek mau sekolah tinggi ujung-ujungnya apa? Well, kalau beruntung dapet cowok yang mapan.
Gue terus bandingin pelajaran (mata kuliah) di calon kampus gue vs NUS. Gue pikir lagi, sekarang ngerti juga kenapa psikologi di luar negeri harus sampe PhD dulu baru bisa dikatakan psikolog beneran. S1 mereka yah cenderung 'dangkal' ditambah kebanyakkan gak ada skripsi.
Gue lihat pelajaran di kampus gue itu lumayan berat yah kalau diliat. Plus ditambah gue dapet dorongan sana-sini, bahkan dari kenalan orang tur bahwa kampus gue ini bagus psikologi-nya. Alhasil, gue semakin galau tetapi yakin bahwa mungkin lebih baik gue tinggal di Jakarta aja.
Psikologi sama halnya seperti dokter, sosiologi, maupun hukum itu ilmu-ilmu yang lebih baik diambil di negara sendiri. Mengapa? Karena masalah-masalah di Indonesia itu berbeda dengan luar negeri. Apalagi negara maju. Penyakit pun juga berbeda. Di luar negeri yang bersih apa bisa orang kena tipes?
Walau psikologi sebenernya emang masih lebih umum, tetapi gue mikir kalau gue kuliah di luar dengan pandangan orang asing, lalu gue kerja di sini... apa ilmu gue itu bisa kepake di Indonesia?
Ditambah kuliah di Indonesia tentunya sudah disesuaikan dengan lingkungan kerja yang ada di Indonesia, kan? Di sini, gue juga bisa magang dan ngerasain kerja di bidang yang gue minati. Sesuatu yang mungkin tidak gue dapatkan bila gue memutuskan kuliah di luar negeri.
Gue lagi mikir aja, ada orang kuliah jauh-jauh di Amerika (dia cewek), dan karena sedihnya dengan ijazah SMA, kita sebetulnya gak bisa langsung kuliah baik di Eropa maupun Amerika. Gue kurang mengerti deh, yang pasti harus ambil lagi tambahan mungkin biar setara dengan kualifikasi mereka.
Tidakkah sebetulnya buang-buang waktu, tenaga, dan biaya?
Yeah pada akhirnya, gue mengambil keputusan bahwa lebih baik di sini. Gue gak perlu pusing mikirin soal makan, rumah, kesepian, dan lain-lain. Fokus gue hanya menimba ilmu. Gue akan bekerja keras untuk menjadi penulis sungguhan bukan sekedar hobi aja.
Meskipun gue harus mengorbankan angan-angan bisa punya kehidupan baru, meski gue menahan rasa iri melihat temen-temen gue yang kuliah di luar, apalagi di Inggris... mereka bisa jalan-jalan keliling Eropa pas liburan... sementara gue harus ketemu lagi sama Jakarta...
Tidak apa.
Gue memutuskan untuk mengorbankan kenangan baru itu demi sebuah pendidikan dan kehidupan yang lebih masuk akal dijalankan.
Love,
Natasha
PS : Merry Christmas and Happy New Year!!! Lots of love!
PPS : Libur tinggal beberapa hari lagi... hhmm...