Hey there!

I'm Natasha, the author of this blog. I'm also a psychology student who is working hard to be a novelist. I like thinking deeply mainly about life. I'm not a wise person, I'm simply just a girl who wants inspire the world through my writing.

Hope you enjoy every single of my posts.

Lots of love!
Natasha

PS : Feel free to comment on my posts, I will definitely reply to your comment!


BLOG READERS SURVEY
Please kindly do this survey, it will only take a little of your time! :)

29 December 2014

Pengorbanan

Hidup ini memang membingungkan, tak terprediksi, dan kadang tidak sejalan dengan yang kita inginkan.

Again, gue mau ngebahas tentang kuliah alias masa depan anak SMA yang mau lulus bentar lagi.
Gue tahu sudah cukup terlambat kalau gue mau kuliah di tempat yang aneh-aneh.

Waktu gue SD dan SMP, gue ini didorong untuk sekolah di sekolah internasional. Dulu, gue ini belum jago bahasa Inggris (sekarang juga gak jago juga sih... hanya sok jago) sehingga tentu saja kalau gue mau sekolah internasional, gue bakal terintimidasi dengan bahasa yang digunakan selama sekolah. Alhasil, gue yah menentang dong. Gue mau jadi apa kalau sekolah di sekolah dengan pengantar bahasa Inggris sementara gue di rumah ngomongnya bahasa Jawa.

Setelah menginjak SMA, dan mungkin karena kebanyakkan melakukan riset novel dengan bahasa Inggris, kemampuan bahasa Inggris gue jadi lebih baik. Pertama, guru gue meluruskan grammar gue yang selama ini kacau balau, seenak jidat mau gue yang penting bisa ngomong dan enak didenger. 
Kedua, gue ini pemalu dan bahkan jarang ngomong dengan bahasa yang gue fasih sendiri. Gimana dengan bahasa asing yang jarang gue ucapkan? Sekarang, untungnya lebih mendingan dikit. 
Ketiga, gak gampang ngomong Inggris secara spontan, dan gue udah lumayan bisa spontan walau agak blepotan.

Nah, lucu kan bagaimana pandangan gue dulu yang maunya kuliah di Indonesia aja deh, dalam hitungan tahun gue berubah pikiran? 

Yeah, impian gue adalah kuliah di luar negeri. Alasannya adalah selain memang pendidikan di luar negeri (negara maju) itu lebih bagus daripada Indonesia, gue juga ingin menambah pengalaman. Gue pengen ngerasain hidup mandiri mengingat gue ini cenderung manja. Gue juga  pengen apa yah mengubah hidup gue yang datar ini menjadi lebih menantang sedikit. 

Tujuannya kemana? Yah awalnya muluk-muluk sih mau di London, University College London atau di Oxbridge (Oxford atau Cambridge) yang kalau ditinjau kembali dengan realita kehidupan, itu tidak mungkin terjadi. Biaya hidupnya mahalnya kalau diibaratkan beli mobil, udah dapet kali yah mobil sport... hhmm. Disamping itu, gue harus realistis juga kalau gue tidak les bahasa Inggris, gue semata-mata belajar di sekolah dan self-learning di rumah dari nonton film no subtitle, baca buku Inggris... mampukah gue mengejar IELTS 7,5? Kan sayang banget kalau harus belajar bahasa lagi sehingga memperlambat kelulusan....

Selanjutnya, impian gue sekarang jauh lebih realistis. Gue sendiri bahkan sudah survey tempatnya yang keren bangettt. Yakni National University of Singaproe (NUS), ini yah UI-nya orang Singapore. Dan NUS sendiri di mata dunia itu termasuk salah satu top university around the world. Kebayang kan gimana pasti kerennya kuliah di sana?
IELTS nya lebih manusiawi 6,5. Dari segi biaya, masih masuk akal untuk ukuran kuliah di luar negeri. Biaya hidup? Yah harus dihemat-hematin. Total kuliahnya kalo diitung-itung sama dengan kuliah swasta elite di Indonesia. 
Kurang menggiurkan apalagi? Okelah kalau UK agak kejauhan dari Indonesia, tapi ini Singapore... negara kedua orang Indonesia :')

Beberapa bulan belakangan, pikiran dan hati gue ini seperti bertengkar. Apa sebetulnya tujuan hidup gue? Kenapa gue udah punya cukup keinginan untuk mencari pengalaman baru, keluar dari zona nyaman gue, tetapi gue tidak punya apa yah... niat dan semangat untuk berjuang mencapai keinginan gue kuliah di luar negeri.

Mari kita bandingkan kehidupan gue bila kuliah di luar negeri vs di Indonesia. 

Di luar negeri: 
  • Kelebihan :
  1. Mendapat pengalaman baru
  2. Lebih fasih berbahasa Inggris
  3. Bisa punya banyak teman baru dari berbagai belahan dunia
  4. Pola pikir gue jelas akan lebih terbuka 
  5. Belajar kebudayaan baru
  6. Bisa jadi lebih sering exercise karena di luar kan lebih sering jalan kaki 
  • Kekurangan :
  1. Seret jodoh *nah loh*
  2. Takut homesick *karena gue cinta rumah banget*
  3. Takut kalau sakit gak ada yang urus dan gak tau harus ngapain...
  4. Gak bisa masak :') 
  5. Takut terjerumus ke hal negatif
Di Indonesia :
  • Kelebihan :
  1. Tidak perlu khawatir kendala bahasa
  2. Masih bisa ngumpul ama keluarga dan temen-temen
  3. Ngerasain hidup normal
  4. Buku-buku gue ada di sini semua jadi bisa jadi referensi belajar
  5. Gak puyeng sama urusan rumah tangga 
  • Kekurangan :
  1. Hidup ini monoton
  2. Pengalaman baru cuma sedikit
  3. Harus bikin skripsi...
  4. Begini terus jarang olahraga
  5. Tidak ada yang bisa dibanggakan...
Well, masing-masing punya kelebihan dan kekurangannya sendiri. Itu gak bisa dipungkiri lagi. Gue agak kecewa karena gue pada akhirnya akan masuk di perguruan tinggi swasta di Jakarta Selatan. Mungkin bisa nebak sendiri lah apa. Kalo mau dibandingin fasilitas yah pasti kebanting sama luar negeri. Sebenernya bukan karena gedungnya jelek atau kampusnya secara fisik yang gue lihat.
Tapi, siapa sih yang gak pengen punya kampus keren? Yang nyaman dan enak dibuat nongkrong...

Sekitar dua atau tiga hari lalu gue mendapat pencerahan. Pencerahan yang bener-bener bikin gue somehow, gak sabar pengen cepet kuliah. Gue takut sekali harus mengakhiri masa sekolah gue. 12 tahun gue pakai seragam dan hidup nyaman di kelas, tiba-tiba gue harus keluar dan masuk ke jenjang yang katanya menuntut kemandirian. In the end, you have to count on yourself.

Gue minta sama Tuhan buat kasih gue pencerahan, dan doa gue dijawab. Gue mikir lagi untung-ruginya kalau gue coba-coba di luar negeri atau gue cari aman dan masuk ke kampus yang udah nerima gue ini.

Jawabannya sederhana tetapi sulit diterima. Pengorbanan.

Do you get it?

"Sometimes in life, you have to sacrifice something in order to get the other thing."
Dengan memakai prinsip demikian, gue bisa menemukan jalan keluar dari dilema yang gue hadapi.
Gue sadar bahwa gue gak bisa rakus, gabisa tamak pengen mendapatkan semuanya sekaligus. Gue harus mengorbankan hal yang gue mau. Kayak gue punya banyak cita-cita, tapi gue gak bisa kan jadi dokter, suster, agen rahasia, psikolog, dan penulis dalam waktu bersamaan?
Gue harus memilih mana yang benar-benar gue minati, mana yang merupakan panggilan hidup gue, dan mana yang paling sesuasi dengan kondisi gue di masa sekarang.
Sekarang gue anak IPS, gak suka fisika, bodoh di kimia, ngafalin yang abstrak kayak biologi juga susah, takut sama mayat, gak tahan ngeliat orang sakit kulit, yah gimana mau jadi dokter atau suster?

Gue akhirnya mencapai di keputusan bahwa. Gue menyerah untuk menggapai impian kuliah di luar negeri. Setelah sedih banget rasanya kan gak bisa dapet kehidupan baru, mungkin pengetahuan baru, pokoknya hilang sudah bayangan gue bisa mandiri, berani ngomong Inggris, dan menjadi dewasa.
Semua bayangan itu sirna, tetapi digantikan juga dengan bayangan lainnya.

Gue pikir lagi kuliah di luar negeri (dengan tujuan gue di Singapore) kalau mau biaya kuliahnya murah, gue harus kontrak buat kerja di sana dua tahun. Singapore terkenal dengan negara yang katanya orang addict kerja banget. Workaholic. Dan tentu ada rasa takut kan gue gak betah, tapi gak bisa pulang juga. Pikir-pikir cewek mau sekolah tinggi ujung-ujungnya apa? Well, kalau beruntung dapet cowok yang mapan.
Gue terus bandingin pelajaran (mata kuliah) di calon kampus gue vs NUS. Gue pikir lagi, sekarang ngerti juga kenapa psikologi di luar negeri harus sampe PhD dulu baru bisa dikatakan psikolog beneran. S1 mereka yah cenderung 'dangkal' ditambah kebanyakkan gak ada skripsi.
Gue lihat pelajaran di kampus gue itu lumayan berat yah kalau diliat. Plus ditambah gue dapet dorongan sana-sini, bahkan dari kenalan orang tur bahwa kampus gue ini bagus psikologi-nya. Alhasil, gue semakin galau tetapi yakin bahwa mungkin lebih baik gue tinggal di Jakarta aja.

Psikologi sama halnya seperti dokter, sosiologi, maupun hukum itu ilmu-ilmu yang lebih baik diambil di negara sendiri. Mengapa? Karena masalah-masalah di Indonesia itu berbeda dengan luar negeri. Apalagi negara maju. Penyakit pun juga berbeda. Di luar negeri yang bersih apa bisa orang kena tipes?
Walau psikologi sebenernya emang masih lebih umum, tetapi gue mikir kalau gue kuliah di luar dengan pandangan orang asing, lalu gue kerja di sini... apa ilmu gue itu bisa kepake di Indonesia?
Ditambah kuliah di Indonesia tentunya sudah disesuaikan dengan lingkungan kerja yang ada di Indonesia, kan? Di sini, gue juga bisa magang dan ngerasain kerja di bidang yang gue minati. Sesuatu yang mungkin tidak gue dapatkan bila gue memutuskan kuliah di luar negeri.
Gue lagi mikir aja, ada orang kuliah jauh-jauh di Amerika (dia cewek), dan karena sedihnya dengan ijazah SMA, kita sebetulnya gak bisa langsung kuliah baik di Eropa maupun Amerika. Gue kurang mengerti deh, yang pasti harus ambil lagi tambahan mungkin biar setara dengan kualifikasi mereka.
Tidakkah sebetulnya buang-buang waktu, tenaga, dan biaya?

Yeah pada akhirnya, gue mengambil keputusan bahwa lebih baik di sini. Gue gak perlu pusing mikirin soal makan, rumah, kesepian, dan lain-lain. Fokus gue hanya menimba ilmu. Gue akan bekerja keras untuk menjadi penulis sungguhan bukan sekedar hobi aja.
Meskipun gue harus mengorbankan angan-angan bisa punya kehidupan baru, meski gue menahan rasa iri melihat temen-temen gue yang kuliah di luar, apalagi di Inggris... mereka bisa jalan-jalan keliling Eropa pas liburan... sementara gue harus ketemu lagi sama Jakarta...

Tidak apa.
Gue memutuskan untuk mengorbankan kenangan baru itu demi sebuah pendidikan dan kehidupan yang lebih masuk akal dijalankan.

Love,
Natasha

PS : Merry Christmas and Happy New Year!!! Lots of love!
PPS : Libur tinggal beberapa hari lagi... hhmm...


03 December 2014

Best Friend Forever

Sebenernya apa sih definisi "BFF" alias Best Friend Forever itu?
Apakah sahabat itu orang yang paling lama kita kenal di hidup kita? Apakah sahabat itu yang selalu main sama kita di sekolah dan jalan-jalan bareng? Apakah sahabat itu orang yang sering chat sama kita? Ataukah sahabat itu orang yang selalu ada buat lo, tidak hentinya mendengar keluh-kesah lo, dan lo ngerasa kehilangan banget kalo gak ada dia?

Punya pengalaman pahit di masa lalu menyangkut sahabat membuat gue jadi lebih terbuka lagi dengan definisi sahabat itu sendiri. Sebenernya gue ini punya sahabat gak sih? Apakah gue punya temen yang selalu siap mendengarkan masalah gue ketika sedih, bisa diajak ketawa bareng juga, dan gak meninggalkan gue ketika gue sedang butuh pertolongan. Sebenernya ada gak sih temen kayak gini?

Bagi gue temen itu sangat penting. Gue ngerasain banget waktu itu ujian tes masuk univ, gue sendirian bener-bener sendirian. Temen-temen dari sekolah gue yang tes juga cowok semua (yang gue ketemu) dan ada yang tidak dekat. Jadi, gue bener-bener ngerasain sedihnya cuma bisa jalan bolak-balik sendirian, tanpa arah, dan tidak ada orang untuk menenangkan gue yang gugup banget. Gue paling gak suka berada di suatu lingkungan baru yang bener-bener asing di mata gue. (But Thank God I managed it and yey! I'm accepted!! so I'm officially a university student, hhhmm)
Temen itu membuat hidup kita lebih baik. Lebih berwarna. Lebih seru buat dijalanin. Kita bisa ngomongin apa aja sama temen-temen kita. Dari belajar bareng di conference, sesi curhat-curhatan, ngasih tips, share ayat alkitab, main games gak jelas, sampe ngobrolin berbagai macam topik pun semuanya terasa seru. Tiap hari terus berinteraksi gak membuat kita bosen. Justru merasa kehilangan ketika mereka gak ada.

Jeleknya usia-usia remaja, mulai dari SMP sampai SMA seperti ini, orang-orang cenderung untuk membuat kelompok masing-masing. Mereka cenderung bergaul dengan orang yang sederajat dengan mereka. Bukan masalah status sosial, tetapi lebih ke arah kesatuan pikiran dan punya sifat yang cenderung mirip-mirip. Ada juga yang berteman dekat karena punya hobi yang sama, ngefans artis yang sama, dan masih banyak lagi deh.

Awal permulaan bisa terbentuk sebuah geng itu sendiri biasanya gabungan dari dua-tiga orang temen deket yang gak sengaja ngobrol bareng dan ngerasa nyambung dan cocok dengan satu sama lain. Setelah sering banget menghabiskan waktu bersama, barulah ada rasa kebersamaan yang muncul dan memutuskan untuk berkelompok dengan teman-teman yang ini. Kalau dulu nge-tren banget bikin geng, sekarang zaman SMA gue sih gak secara resmi punya nama, visi-misi, dan tujuan (udah kek lembaga sosial aja :| *ceritanya abis UAS sosiologi*) tetapi secara sadar diri kita tahu bahwa lingkaran pertemanan kita itu adalah mereka-mereka itu.

Gue tipe orang yang sulit menerima orang baru ketika gue udah punya lingkaran pertemanan itu. Gue orangnya (ini jelek, jangan ditiru yah!) suka men-judge orang duluan tanpa kenal lebih lanjut. Bukan dari segi tampang, karena gue suka sotoy, gue suka menebak-nebak kepribadian dia kayak apa, dan ketika gue sadar dia ini beda sama gue, otomatis gue membatasi diri untuk mengenal dia lebih jauh. Gue tahu gue tidak bakal nyambung dengan jenis-jenis orang tertentu. Apalagi yang punya minat yang berbeda dengan gue.

Gue cenderung ke tipe yang mempertahankan erat persahabatan. Gue bakal berusaha untuk menjaga kerukunan, keharmonisan, dan keutuhan lingkaran pertemanan gue. Gue paling benci dari dulu kalau liat temen gue berantem sama yang lain. Apalagi dari lingkaran pertemanan yang sama. Pasti dijamin, bakal terbelah dua kubu bahkan lebih. Karena gue tahu rasanya kehilangan teman, gue jadi gak mau mengulangi hal yang sama. Gue mencoba untuk menjaga hubungan gue sama temen-temen gue sekarang. Lagipula, kita udah dewasa. Seharusnya udah tahu lah gimana caranya untuk mempertahankan pertemanan sampai kita gede nanti.

Bagaimanakah caranya untuk menjaga hubungan pertemanan kita? Caranya gampang. Komunikasi itu adalah yang wajib dilakukan setiap hari karena dengan begitu kita makin mengenal mereka lebih baik, dan otomatis kita lebih enjoy sama mereka. Gak perlu takut lagi salah bicara karena kita udah tahu latar belakang mereka kayak apa, sifat mereka kayak apa, kelakuannya kayak apa.
Yang penting lagi adalah mau saling menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing temen kita. Toh kita sendiri juga banyak kejelekkannya, kalau temen kita mau terima kita apa adanya, kenapa kita juga gak bisa nerima mereka yang original? Ini yang sering menjadi awal konflik pertemanan.
Tak kalah penting lagi adalah dari masing-masing kita punya rasa kebersamaan dan persahabatan yang erat. Kalau udah ada mindset seperti ini, dijamin kita bakal berusaha untuk menjaga pertemenan kita biar gak renggang.

Yang mau gue bahas lebih lanjut adalah bagaimana perbedaan kepribadian itu membuat pertemanan seringkali hancur. Sedih ketika ada temen yang orangnya itu suka bertemen, tetapi dia lebih suka konsep "berinteraksi dengan orang lain" dibanding "berusaha menjaga keharmonisan pertemenan". Ini yang membedakan Sanguinis dan Plegmatis dalam hal pertemanan. Sanguinis lebih suka "interaksi" nya, tetapi Plegmatis itu lebih ke "maintain" friendship. Ketika ada salah satu dari temen kita yang cara berpikirnya udah menyimpang sama sisa dari kelompok kita, alhasil akan terjadi konflik. Ada dua cara. Pertama, bikin temen kita itu sadar  bahwa kita memang yang selalu ada buat dia. Kalau cara ini gak berhasil, it means dia memang bukan teman sejati kita. Simple aja sih.
Temen sejati tidak bakal meninggalkan temennya sendiri, mau temennya bertolak belakang sekalipun dengan dia.

Gue prefer punya beberapa temen deket saja daripada punya banyak teman tetapi gak ada satupun yang peduli sama kita ketika lagi susah. Orang boleh judge gue sebagai orang yang eksklusif cuma mau bergaul sama temen-temennya sendiri aja, atau tertutup sama orang baru... yah memang beginilah gue. Bahkan dalam kenyataan pun, gue memang punya banyak temen deket, walau kenalan gue itu gak banyak.
Memang gue akuin, ketika ada masa gue gak bisa sama temen deket gue, dan gue sendirian, gue tidak punya temen lain karena gue memang jarang berinteraksi sama temen lain. Yeah, ini emang buruk gue akuin.

Beberapa temen gue sering bertanya ke gue, gimana sih cara menemukan sahabat? Sahabat itu bisa tiba-tiba datang. Dia bisa jadi orang yang selama ini tidak kita kenal, tetapi tiba-tiba satu kelas dan BOM jadi sahabat. Bisa jadi kita dikenalin temen, dan nyambung, jadi deh temen deket. Sama seperti cinta yang datang begitu saja, sahabat pun juga begitu.
Cara tahu mana sahabat yang baik dan tidak itu cukup mudah. Apakah dia bisa menerima kekurangan lo? Apakah dia mau nemenin lo karena ada maksud tertentu? Apa dia mau mendengar keluh kesah lo?

Banyak orang yang masuk ke sebuah lingkar pertemanan karena geng itu dianggap paling prestige, atau istilahnya paling gaul dibanding geng-geng lain seangkatan. Sekarang gini aja deh, kalau kalian ngerasa gak nyaman, ngerasa gak cocok bertemen sama mereka, dan teman-teman kalian itu mengubah diri kalian jadi lebih negatif, itulah yang harus dihindarin. Temen yang baik itu yang mau nasehatin kita kalau kita salah, dia yang bela kita ketika orang lain mempersalahkan kita, temen yang baik gak akan menjauhi kita hanya karena kita punya suatu kekurangan.


Gue jujur sedih karena kehilangan temen gue lagi. Memang kita gak musuhan (karena menurut gue musuhan itu enggak banget), tetapi gue tahu kalau kita juga gak sedeket dulu lagi. Sahabat bisa tiba-tiba hilang ketika ia menemukan pengganti kita. Ketika dia lebih asyik sama temen barunya, or maybe kalau seusia kita, yah sama pacarnya. Sedih ketika bukan kita lagi orang pertama yang dia chat karena dia mau cerita sesuatu atau mau curcol. Dan sedih ketika dia perlahan berubah, menjadi seseorang yang bukan kita kenal dulu, yang topik pembicaraannya udah berubah, dan sifatnya bahkan berubah.
Rasanya kehilangan banget deh.

Gue mencoba berpikir dari perspektif temen gue. Okay lah dia punya temen baru yang mungkin lebih asyik daripada gue, gue jauhin dia, dan gue tau gak enak rasanya dijauhin temen. Namun, harusnya dia juga inget kalau dalam pertemanan itu gak selalu tentang dia, kan? Adakalanya dia juga harus ngertiin gue. Jujur, gue yang orangnya toleran dan sabar ini juga jengah dengan temen gue ini. Kalau kata salah satu temen gue, ngomong sama dia seakan ngomong sama cermin. Gak dianggep. Gue lelah karena semakin hari, kita masih komunikasi semata-mata karena kita udah saling kenal lama. Gak ada lagi yang namanya suka-duka bareng.

Intisari dari yang gue tulis panjang-lebar ini sebenernya cuma mau ingetin, jangan lupa dan meninggalkan temen kita demi temen lain yang baru dikenal. Ini bukan menyangkut berapa tahun lamanya kita berteman, tetapi kalau udah tau dia itu baik, yang pengertian, dan pendengar yang baik, kenapa harus beralih ke orang yang belum tentu mau dengerin curhatan lo yang kadang annoying? Seringkali, orang langsung banting setir pindah haluan pertemanan karena kesenangan semata. Karena melihat mereka lebih asyik daripada temen kita yang lama, karena mereka lebih fleksibel, lebih seru diajak bersenang-senang... mungkin karena gue ini introvert yang lebih suka ketenangan kali yah...

Sekali lagi, tak ada salahnya mencari teman baru. Semakin banyak teman, banyak relasi, hidup kita semakin mudah dan bahagia. Kita pada akhirnya akan saling membutuhkan satu sama lain, mungkin di masa depan yang akan datang. Kalau temen baru kita itu membawa dampak yang lebih baik, yang lebih mau menerima kita apa adanya, tidak masalah. Namun, itulah ada pertemuan ada juga perpisahan. So, jangan sedih ketika harus melepas salah satu teman kita. Maybe, dia lebih bahagia sama teman barunya. But, jangan juga kita musuhin yah teman kita yang itu :) mereka mungkin bukan sahabat kita lagi, tetapi dia tetep temen yang pernah sempat mengisi hidup kita sesaat.


Semoga pertemanan kita semua tetap awet :)

Love
Natasha

PS : Today is the last day of Odd Term!!!! GOODBYE SCHOOLLL! #NoMoreFinalExams
PPS : So far, UAS tersusah adalah sosiologi. Mungkin karena kemarin udah kebawa suasana mau libur panjang jadi agak gak konsen belajarnya.
PPPS : SEDIHHH sekolah tinggal menghitung satu jari tangan doang. Then have to leave my beloved friends! I'm gonna miss you! Let's still be friends even if we're separated.


Udah lama yah by the way gak nge-post lagi.