Hey there!

I'm Natasha, the author of this blog. I'm also a psychology student who is working hard to be a novelist. I like thinking deeply mainly about life. I'm not a wise person, I'm simply just a girl who wants inspire the world through my writing.

Hope you enjoy every single of my posts.

Lots of love!
Natasha

PS : Feel free to comment on my posts, I will definitely reply to your comment!


BLOG READERS SURVEY
Please kindly do this survey, it will only take a little of your time! :)

31 July 2017

Japan Trip Part 1

Lama tidak menulis di blog, gue memutuskan untuk menceritakan perjalanan gue kemarin ke Jepang dengan teman lama gue, Michelle. I don't usually write about my journey because I often feel like I want to brag myself if I do that , but this time it's totally different because this trip taught me a lot of lessons. 

Biasanya gue pergi liburan dengan mama dan cici apalagi ke negara yang jauh. Kita pun juga 3 kali ikut tur dan baru tahun lalu gue mencoba pergi sendirian dengan cici dan tunangannya. And I realize it was fun! Pergi dengan tur memang teratur, nyaman, dan pastinya bakal melihat tempat penting di suatu negara, tapi pergi sendiri mengajarkan banyak hal yang justru membuat liburan menjadi semakin seru karena ada tantangan yang harus dihadapi.

Gue dan Michelle merencanakan perjalanan kita ini dari bulan Maret kemarin (kalau tidak salah ingat). Kita seperti biasa facetime sambil bertukar cerita dan tiba-tiba muncul ide gila untuk jalan-jalan bareng. Jadi gue dan Michelle memang sudah bertemen deket dari SMP tapi tidak pernah jalan-jalan bareng. Maka, kita pun meniatkan rencana kita itu. Destinasi yang kita pilih akhirnya Jepang karena kita berdua gak pernah ke sana, dan menurut kita dari segi biaya, keamanan, jarak, dan semuanya Jepang merupakan negara yang paling masuk akal buat kita datengin.

Jadilah kita membeli tiket pesawat. Lalu booking AirBnB untuk mengirit biaya akomodasi. Sebetulnya gue pikir, ide jalan-jalan ini lumayan gila buat gue. Gue harus naik pesawat sendirian untuk pertama kalinya dan jaraknya pun cukup jauh. Tujuh jam. So, jujur gue gugup. Sangat gugup.  Ditambah, gue sebetulnya kurang menyukai Jepang terutama karena gue takut tidak bisa makan. Gue hanya makan daging ayam dan sapi, so yeah... gue takut gak bisa makan makanan di sana yang didominasi oleh babi dan seafood (Dua musuh gue di Indonesia). Tapi namanya juga penasaran, so teruslah berjalan rencana perjalanan ini.

Mendekati hari pergi, gue literally gak ada semangat untuk membut itineary, mix n match baju, dan membeli perintilan kecil seperti tiket wisata dan tiket JR Pass (kereta untuk di Jepang). Mungkin karena pada awalnya gue tidak tertarik juga dengan Jepang jadi memengaruhi gue juga jadi agak malas-malasan menyiapkan perjalanan ini. Gue agak sebel bahkan dengan Michelle yang juga susah diajak diskusi karena dia pergi charity gereja ke India. Gue mulai berpikir, perjalanan ini akan jadi buruk.

Sampai tibalah hari H. Gue naik pesawat di malam hari sendirian. Gue gak bisa tidur. Siapa sih yang bisa tidur pules di pesawat? Akhirnya dengan istirahat yang sangat singkat, gue merasa sangat kelelahan. Tapi gue harus berjuang lagi untuk pergi ke apartemen sendirian di negara asing yang tidak gue tahu sama sekali bahasanya. Gue rasanya antara semangat karena gue ditantang menjadi mandiri, tetapi pengen nangis juga karena harus mengandalkan diri sendiri menggeret koper di negara asing ini. Baru kali ini gue merasa menjadi orang asing yang totally buta dengan negara itu. Mungkin karena gue sendirian*. Yang gue tahu dari Jepang cuman Doraemon sama Detective Conan. 
*Oh ya, gue tidak berangkat bareng Michelle karena dia kuliah di Korea, so yeah kita beda pesawat dan beda bandara. Gue sampai di Haneda yang thanks God lebih deket dari kota dan dia sampai di Narita yang lebih jauh dari kota Tokyo. Gue sampai pukul 9 pagi waktu Jepang dan dia baru berangkat jam segitu dari Korea. So basically, I'm all by myself for 5 hours. 

So, hal pertama yang gue lakukan ketika sampai adalah membeli nomor lokal. Gue membeli sim card 7 hari dengan harga 4.500 yen yang awalnya gue kira murah, tetapi setelah gue itung dengan kalkulator harganya bikin kepala gue pusing. Why I'm so stupid, tapi mau bagaimana lagi kalau gak gue gak bisa komunikasi sama Michelle dan keluarga di Indonesia. Setelah ada internet, gue pun membeli kartu transportasi namanya Suica Card yang ternyata bisa dipakai di luar Tokyo juga. Basically, Suica yah kayak Ezlink di Singapore atau Oyster di London yang bisa dipake naik subway dan bus. Jadi sistemnya beli kartu lalu bisa di top-up sesuka hati sesuai kebutuhan. 

Harus gue akuin, jalur kereta Tokyo sangat rumit. Line MRT Singapore hanya seperti mainan anak kecil. Bahkan line Tube di London pun masih sangat lebih mudah dimengerti. Jika mencoba dipahami ada Tokyo Metro yang jalur kereta pusat kota Tokyo, lalu ada JR yang kayaknya nyambung dengan kota-kota di seluruh Jepang. Tarif-nya pun berbeda dan jelas JR jauh lebih mahal. Serius sampai sekarang pun gue juga kurang paham. Untung ada aplikasi Japan Rail yang menyelamatkan gue (anyway, gue gak diendorse). Dan maafkan jika yang tinggal di Tokyo membaca tulisan gue ini, gue hanya menghabiskan waktu kurang dari seminggu di Tokyo. Jadi, harap dimaklumi jika gue salah.

Gue pun menaiki kereta satu per satu. Gue menempati sebuah apartemen di kawasan Komazawa yang  beberapa station dari Shibuya. Dan gue harus tiga kali ganti line hanya untuk pergi ke sana. Cobaan gue banyak banget. Karena membawa koper yang besar dengan berat hampir 16 kilogram, ditambah gue kurang tidur, dan tidak minum, gue harus menggeret koper itu naik dan turun tangga. Gue sedih ketika exit ke apartemen gue itu harus naik tangga. Gue pun memilih naik lift karena yang bener aja gue ngangkat koper itu naik 50 anak tangga?! 

But, guess what... karena gue mengabaikan instruksi host AirBnB, gue berakhir nyasar. Like literally gue gak tahu harus kemana. Gue berakhir di exit yang berbeda dan otomatis gak bisa ikutin panduan dari host. Gue pun muter sana-sini kayak orang linglung. Dan tidak ada yang tertarik untuk membantu gue juga. Padahal gue yakin kalo gue bisa ngeliat diri gue, gue pasti terlihat menyedihkan dengan wajah capek, nenteng koper, dan mata jelalatan nyari jalan. Gue pernah belajar di awal kuliah kalau budaya orang Timur adalah memberi arahan dengan patokan, beda dengan budaya orang Barat yang selalu jelas memberikan suatu alamat. Sekalipun negara maju pun, Jepang juga sulit dikenali dengan jelas.

Keajaiban dari Tuhan datang ketika gue menyebrang ke arah Seven Eleven, gue berjalan lurus dan gue mau nangis ngeliat alamat jalan itu persis dengan alamat apartemen gue. Tuhan masih sangat baik sama gue. Ketika gue melihat perumahan itu, sontak gue langsung teringat dengan perumahan yang digambarkan di komik Doraemon. Gue langsung semangat lagi apalagi ketemu juga apartemen yang akan gue tinggali selama seminggu itu.

Gue kira gue bisa segera naik dan menaruh koper dengan hati lega, tapi cobaan datang lagi. 
Gue yang udah capek banget dan gaptek, gak bisa buka pintu apartemen yang masih pakai sistem pin dengan pencetan dalam bahasa Jepang.

Gue rasanya pengen nangis tapi gak bisa karena kecapean. Gue mau beli minum di vending machine deket apartemen, tapi mesinnya mati. Untung gue belum masukkin duit kalo gak gue kayak orang bloon karena banyak orang lalu-lalang di jalan. Akhirnya, gue hanya celingak-celinguk doang berharap keajaiban muncul. Gue udah chat ke host gue minta bantuan, tapi dia cuman nyuruh gue baca manual book lagi dan karena gak enak gue kebanyakan bacot, gue pun nyoba-nyoba sendiri terus sampai mesinnya agak error

Kemudian datanglah dia. Seorang wanita paruh baya yang tersenyum ke arah gue ketika membuka pintu. Gue pun tanpa ragu bertanya kepada dia, "Excuse me, can you help me to open this door? The code number is XXXX". Dan yeah, rumor bahwa orang Jepang tidak pandai berbahasa Inggris memang benar. Dia hanya tersenyum membalas dengan bahasa dia, lalu membantu gue membuka pintu. Gue pun berterima kasih kepada dia yang membantu gue. Walau gue harus naik tangga ke lantai 3 dengan koper 16 kilo gue, gue merasa bahagia. 

Begitu koper gue udah ditaroh dengan aman di kamar, gue memutuskan pergi mencari makan dan minum sambil menunggu Michelle. Gue pun memutuskan ke Seven Eleven untuk membeli air dan dengan random gue mengambil sesuatu berwarna pink yang rupanya adalah mochi. Mochi itu kembali menyadarkan gue dan membuat gue lebih semangat. Gue pun pergi ke Mcdonalds di sebrang jalan dan makan kentang goreng yang gue rasa dipakein micin karena asinnya gak tahan. Gue jadi tambah haus setelahnya.

Gue seneng banget ketika akhirnya gue ketemu dengan Michelle di depan Mcdonalds. Akhirnya setelah setengah hari sendirian doang, ada juga orang yang bisa diajak komunikasi. 

Well, di bagian ini gue mau membahas awal perjalanan gue dimana gue mendapatkan pengalaman rasanya harus mengandalkan diri sendiri. Sebagai anak bungsu, gue menyadari bahwa gue terbiasa dibantu oleh orang yang lebih tua dari gue, otomatis gue jadi cenderung manja. Akhirnya, di ulang tahun gue kedua puluh (I just can't believe this number...) gue dipercayai oleh ibunda untuk jalan-jalan sendiri dan hasilnya luar biasa. This trip changes me quite a lot. That's why I feel sad going back to the reality (even I prefer to live in Jakarta).

Gue udah tau rasanya naik pesawat sendiri, gue belajar beradaptasi di lingkungan yang asing, gue menjadi semakin percaya diri dengan kemampuan berbahasa Inggris gue yang kayak level native speaker ketika ngomong dengan orang Jepang, gue belajar untuk lepas untuk bersenang-senang, gue bener-bener merasakan "let's get lost" untuk pertama kalinya. 

Anyway, gue gak sabar membagikan pengalaman gue ini, jadi tunggu aja posting selanjutnya di Part 2! Secepatnya gue akan tulis sebelum kembali masuk kuliah.

Love
Natasha

PS : Anyway, hampir dua minggu di Jepang, gue cuman bisa ngomong "Arigatou Gozaimasu". I'm that pathetic.